Stunting stunting
Istilah ini sedang panas sekali rasanya. Semua orang menggunakan terminologi ini entah sebagai bentuk kepedulian, perhatian, bahkan juga sebagai alat politik! Ironis sekali dalam hal ini Stunting sebagai salah satu kejadian gangguan kesehatan justru digunakan senjata bagi sebagian orang untuk menarik simpati dari masyarakat.
Kita tengok sedikit beberapa waktu ke belakang ketika WHO mengumumkan bahwa Indonesia masuk kategori sebagai salah satu negara yang cukup tinggi angka stuntingnya dalam jurnal yang dikeluarkan pada tahun 2022. Dalam memperhatikan hal ini, perlu sekali mengggunakan akal sehat dan juga kebijaksanaan dari yang baik dari kita semua jika memang angka tersebut terbukti benar. Tapi coba kita lihat parameter WHO sendiri, dalam merancang parameter stunting diperlukan kajian khusus yang masif juga komprehensif untuk memberikan informasi akurat dan tepat jika memang benar bahwa angka stunting yang terjadi cukup tinggi di Indonesia.
Sebagai contoh, jurnal penelitian yang biasanya terbit dan rilis dalam bidang kesehatan cenderung mencantumkan suku dan ras bangsa yang diteliti. Selain itu, ada beberapa parameter lain yang memang segmented dicantumkan di negara yang sedang teliti, terutama paramater-parameter yang memang hanya ada di negara tersebut dan tidak dimiliki di negara lain seperti budaya yang majemuk, kondisi sosial dan politik, juga tak kalah penting yaitu faktor ekonomi. Layaknya falsafah jawa yang mengatakan “Jer Basuki Mawa Bea”, semua hal yang berkaitan dengan kondisi tertentu suatu wilayah pasti ada hubungan erat dengan uang begitupun dengan cara sebuah wilayah menuntaskan problematika yang ada dan juga seberapa besar signifikansi atau tingkat keberhasilannya. Hal ini sungguh ironis, mengingat masyarakat di akar rumput juga merasa tidak terima bilamana wilayahnya dikatakan dan masuk dalam kategori stunting. Tentu saja, jelas tidak terima.
Saya ambil contoh, salah satu bentuk budaya orang Jawa dalam akar rumput kehidupan dan cara menjalani hidup adalah dengan cara prihatin. Prihatin ini dianggap sebagai sebuah kebiasaan untuk mencapai kesuksesan dan juga keseimbangan dalam hidup. Kaitannya dengan pola makan, gaya makan prihatin ini diterapkan juga bukan serta merta karena tidak mampu secara faktor ekonomi, melainkan dengan bergaya makan prihatin ini dipandang mampu menghindarkan seseorang dari penyakit degeneratif yang dewasa ini memang kerap kali menjadi momok menakutkan di negara-negara maju. Gaya makan prihatin memiliki falsafah makan secukupnya dan seadanya. Jika memang dalam hal ini gaya hidup prihatin dianggap sebagai sebuah kemunduran oleh negara-negara maju, lantas mengapa ilmu gizi dan diet begitu seringnya digembor-gemborkan dan menjadi gaya hidup di barat sana? Bahkan banyak para pakar kesehatan di bidang gizi menganjurkan untuk menghindari sumber karbohidrat dan fokus ke diet keto. Sedangkan hal ini berbanding terbalik dengan gaya hidup prihatin, bahwasanya makan secukupnya dan seadanya begitu amat diterapkan karena terbukti cukup energi untuk menjalani aktivitas sehari-hari secara tidak berlebihan dan juga memiliki unsur nilai lain yaitu ekonomis. Artinya, dengan gaya hidup prihatin, masyarakat Indonesia khususnya di daerah Jawa memiliki fokus lain yang tak terbatas pada makanan saja, melainkan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberi nikmat cukup lewat makanan yang telah diberikan Tuhan dengan sehat dan sederhana.
Namun jangan salah juga, gaya hidup prihatin tidak serta merta semua orang mengerti konsep dan praktiknya. Makan seadanya dengan prihatin juga sering dijadikan alat oleh seseorang untuk menilai orang lain miskin atau kaya, ini ironis. Makan seadanya dengan prihatin juga sering disalahgunakan oleh orang yang kurang mampu karena melewatkan esensi makna yang terkandung untuk kita sebagai manusia selayaknya makan cukup dan tidak kekurangan. Justru yang terjadi adalah, seseorang kerap kali makan dengan keadaan kurang dan tidak mencukupi kebutuhan asupan harian untuk ia beraktifitas menjalani kegiatan sehari-hari. Alhasil, defisit kalori dan kurus karena dibiasakan dalam waktu yang cukup lama. Inilah yang harus kita soroti bersama dan tanggulangi bersama.
Untuk mengubah kondisi suatu bangsa, dari stunting menjadi tidak stunting tentunya perlu upaya bersama. Hal sederhana dari kebiasaan makan, higiene dan sanitasi, faktor ekonomi, dan isu sosial lain juga harus di eksekusi secara positif dan masif demi tercapainya Indonesia bebas stunting. Tentunya hal ini butuh kerjasama lintas program dan lintas sektoral yang baik, dan tidak dalam waktu yang singkat. Hal ini bisa dimulai dari kepedulian yang sama, lanjut menyamakan persepsi, lantas menyusun srategi yang efektif dan dilakukan secara bertahap. Dimulai dari memperbaiki pola pikir tentang makan, dari rumah, dan dari generasi muda. Kenapa dimulai dari yang muda? Karena tentu saja, mengubah watak orang yang berumur itu jauh lebih sulit daripada mengubah watak orang yang masih muda. Sudahi bumbu-bumbu politik yang tidak perlu, atau juga benefit lain yang akan timbul nanti. Mari kita fokus bersama untuk satu hal, yaitu bagaimana cara kita meningkatkan ketahanan pangan di level keluarga, dimulai dari meningkatkan tingkat pendapatan keluarga, dan alternatif-alternatif lain yang diperlukan seperti bercocok tanam pangan di level keluarga, meningkatkan kesadaran akan pentingnya higiene dan sanitasi di level rumah tangga, dan juga lebih peduli lagi terhadap kesehatan. Sudah jelas, bahwa derajat kesehatan yang baik akan mampu meningkatkan pendapatan keluarga dan membawa hidup ke level yang jauh lebih produktif, bermanfaat, berdayaguna dan berumur panjang.
*ps : semoga tulisan ini dibaca oleh Pak Presiden ataupun Menteri Kesehatan.